Nasehat Untuk Salafiyyin
NASEHAT UNTUK SALAFIYYIN
Oleh
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du
Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada generasi muda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, yang dituliskan dalam rangka andil dalam menunaikan kewajiban menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antara Ahlis Sunnah, sebagaimana yang dianjurkan dalam banyak dalil.
Yang mendorong saya merangkaikan nasehat ini, adalah fenomena yang dialami oleh banyak pemuda salafiyyin, di berbagai negri islam, dan bahkan di negri-negri non islam, yang dihuni oleh minoritas islam, yaitu berupa perpecahan yang besar. Perpecahan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat dalam beberapa masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam menghadapi sebagian orang yang berseberangan (pendapat). Fenomena ini telah menghambat laju perjuangan dakwah menuju As Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya. Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan negri, berbondong-bondong untuk mendalaminya.
Saya akan ringkaskan nasehat ini dalam beberapa poin berikut, dengan disertai harapan kepada Allah, agar melimpahkan kepadaku keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat kepada setiap orang muslim yang membacanya.
Pertama.
Adalah termasuk salah satu prinsip yang ditetapkan dalam agama Islam, bahwa setiap orang muslim sebelum ia menyibukkan dirinya dengan (kekurangan) orang lain, hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh, membenahi diri, berupaya merealisasikan keselamatan, dan menjauhkan segala hal yang akan menyebabkan kebinasaan terhadap dirinya.
Sebagaimana firman Allah
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran“. [Al Ashr /103:1-3]
Allah memberitakan tentang orang-orang yang akan selamat dari kerugian, yaitu orang-orang yang terwujud pada dirinya perangai-perangai tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka merealisasikan pada diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih dahulu, sebelum mereka mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. Sehingga ayat-ayat ini benar-benar telah menetapkan permasalahan ini.
Dan Allah sungguh telah mencela Bani Isra’il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, yaitu dengan berfirman
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir?“.[Al-Baqarah/2 :44]
Oleh karena itu, hendaklah setiap pemuda senantiasa membenahi dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain, dan tatkala dirinya telah mencapai istiqomah (dalam kebaikan), kemudian ia menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar telah meniti metode dan petunjuk ulama?salaf, dan Allah akan melimpahkan kemanfaatan dari (dakwah) nya. Dengan demikian mereka adalah para da’i menuju kepada As Sunnah, melalui ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah, metode ini merupakan kedudukan paling agung, yang bila seseorang telah berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari kiyamat.
Allah Ta’ala berfirman.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata : “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” [Fush-Shilat/41 :33]
Kedua.
Hendaknya diketahui, bahwa yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah adalah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik secara idiologi, ataupun perilaku.
Dan merupakan kekurang pahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah atau seorang Salafy, adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperdulikan segi perilaku, adab-adab yang sesuai dengan ajaran islam, dan menunaikan hak-hak sesama muslim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir kitab Al-Aqidah Al Wasithiyyah berkata: ” …Kemudian mereka (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini: Saling memerintahkan dengan yang baik, dan melarang dari yang mungkar, sesuai yang diajarkan dalam syar’at. Mereka menganjurkan untuk menunaikan ibadah haji, berjihad, mendirikan sholat jum’at, sholat ‘Ied, bersama para pemimpin, baik mereka adalah pemimpin yang baik (adil) ataupun pemimpin yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan sholat berjama’ah, menjalankan tanggung jawab memberikan nasehat kepada ummat”
Mereka juga senantiasa meyakini makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam : (yang artinya) : Permisalan (peran) Seorang mukmin terhadap seorang mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya”.
Tatkala ditimpa cobaan (kesusahan), mereka saling memerintahkan supaya menetapi kesabaran, dan tatkala mendapatkan kelapangan, saling memerintahkan untuk bersyukur, dan tatkala ditimpa takdir yang pahit, mereka saling memerintahkan untuk berlapang dada. Mereka senantiasa menyeru kepada akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji. Mereka juga meyakini makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya”
Mereka senantiasa menganjurkan, agar engkau menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi, berbuat baik kepada tetangga.
Mereka juga senantiasa melarang dari perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan atau tidak.
Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.
Dan setiap hal yang mereka ucapkan dan lakukan, baik dari hal-hal tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah agama islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Ketiga.
Diantara tujuan agung yang dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah ; menunjuki manusia untuk menganut agama ini, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau mengutus sahabat Ali ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar) (yang artinya) :Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah” [HR Bukhory No: 4210, dan Muslim 2406].
Oleh sebab itu, orang-orang yang telah mendapat karunia dari Allah, berupa hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) As Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendakwahi orang yang masih tersesat dari As Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan As Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka agar menerima kebenaran.
Hal itu dengan cara mendakwahi mereka dengan lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada Nabi Musa dan Harun :
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut” [Thaha/20 : 43-44]
Hendaknya mereka memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menulis surat kepada Hiraql, dengan bersabda (yang artinya) : Kepada Hiraql, Pemimpin Romawi”
Beliau juga memberikan kunyyah kepada Abdillah bin Saba dengan Abil Habbab
Dan hendaknya mereka juga senantiasa bersabar dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan janganlah menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran? Allah berfirman:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka“[Al-Ahqaaf/46 : 35]
Keempat.
Hendaknya para pelajar (Tholabatul Ilmi), terutama para da’i, dapat membedakan antara Al Mudarah dan Al Mudahanah. Karena Al Mudarah adalah suatu hal yang dianjurkan, yaitu : sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Lisanul Arab, bersikap Mudarah terhadap orang lain adalah dengan beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh darimu. Sedangkan Al Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama, Allah berfirman :
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)“. [Al Qolam/68 : 9].
Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: “Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu” [Tafsir Al Baghowy 4/377].
Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.
Sungguh dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan figur paling baik akhlaqnya, dan paling lemah lembut terhadap umatnya, dan ini sebagai perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah dari perangai beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, barang satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi perangai beliau ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).
Hendaknya para pelajar, memperhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda lemah dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap ramah-tamah (Ar Rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini adalah, salah, dan tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan dengan baik, karena kesalah pahaman pada permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada yang dapat terlindung darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah.
Kelima.
Seorang juru dakwah, dalam berdakwah kepada manusia, memiliki dua metode yang diajarkan dalam syari’at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil, yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer (memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.
Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari’atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari’atkan.
Kesimpulannya: Barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: (Syari’at) menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah menghardik orang yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat umum meninggalkan kesalahan tersebut.
Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan sirna, maka pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.
Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan orang lainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).
Bahkan menarik simpati sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih berguna dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian lainnya? Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh, kadang kala disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan kadang kala dengan cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.
Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya, tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut” [Majmu’ Fatawa 28/206].
Beliau menjelaskan kesalahan orang yang menyama ratakan dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: “Sesungguhnya sebagian orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati) sebagai suatu keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar hal-hal yang diharamkan.
Dan disisi lain ada sebagian orang yang berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk membaoikot (menjauhi) sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk lagi bid’ah” [Majmu’ Fatawa 28/213].
Keenam.
Sepantasnya setiap orang yang hendak menerapkan masalah hajer (boikot) untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, yang telah digariskan oleh para ulama?yang berkompeten dalam hal ini. Sehingga melalui ketentuan-ketentuan tersebut benar-benar terbedakan dengan jelas, antara pelaku kesalahan yang disyari’atkan (layak) untuk diboikot dari orang yang tidak layak. Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya, ialah :
1. Yang Berkaitan Dengan Pemboikot.
Yaitu hendaknya orang yang kuat, memiliki pengaruh, sehingga pemboikotan yang ia lakukan menimbulkan pengaruh, yang berupa teguran terhadap pelaku kesalahan. Adapun bila pemboikot adalah orang yang lemah, maka boikot yang ia lakukan tidak akan membuahkan hasilnya
Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.
Adapun bila tujuannya ialah demi menjaga kemaslahatan pemboikot, yaitu karena ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan agamanya, bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, maka ia dibenarkan untuk memboikot setiap orang yang akan mendatangkan kerugian baginya, bila ia bergaul atau duduk-duduk dengannya.
Yang demikian ini, dikarenakan hajer (boikot) disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikot, yaitu dengan cara memboikot setiap orang yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya, Sebagaimana disyariatkan demi mencapai kemaslahatan orang yang diboikot, yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat pelajaran, bila diboikot.
Dan hajer (boikot) juga disyariatkan, demi mencapai kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu dengan cara memboikot sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat, menjadi jera dan takut untuk melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Dan banyak dalil yang menunjukkan setiap macam dari ketiga jenis pemboikotan ini.
2. Yang Berkaitan Dengan Orang Yang Diboikot.
Yaitu apabila ia akan mendapatkan manfaat dengan terjadinya pemboikotan atas dirinya, sehingga ia terpengaruh dan kembali kepada kebenaran. Adapun bila tidak mendapatkan manfaat dengannya, bahkan kadang kala semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Dan hal ini bisa saja kembalinya kepada tabi’at yang dimiliki oleh sebagian orang; kuat, keras, dan enggan untuk tunduk kepada orang lain, walau tabiat ini akan menjadikannya binasa. Nah orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman, dan boikot, akan tetapi kadang kala dapat dipengaruhi dengan cara menarik simpati, dan sikap ramah tamah.
Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’bin Habis, dan yang serupa dengan mereka.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik perhatian sebagian orang, dan memboikot sebagaian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut (dalam perang Tabuk), ketiga-tiganya lebih baik bila dibanding kebanyakan orang-orang yang ditarik perhatiannya. Hal ini dikarenakan mereka (orang-orang yang ditarik perhatiannya) adalah para pemimpin, lagi ditaati di kabilah masing-masing”. [Majmu’ Fatawa 28/206]
3. Yang Berkaitan Dengan Jenis Pelanggaran.
Tidak ada jenis pelanggaran yang dapat dikatakan : bahwa pelakunya selalu diboikot, dalam situasi apapun, atau selalu tidak diboikot, dalam situasi apapun. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa setiap perbuatan bid’ah pasti diboikot, sedangkan perbuatan maksiat, tidak, atau bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya diklaim kafir) diboikot, sedang selainnya tidak, atau dosa-dosa besar diboikot, sedang dosa-dosa kecil tidak.
Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk dihajer (diboikot) dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot sebagian sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau memboikot ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu tatkala menggunakan minyak za’faran. [HR Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8], dan beliau tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia menghancurkannya. [HR Abu Dawud, 5/402].
Dan kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat kesholehan pelakunya jauh dibawah orang-orang yang diboikot. Sebagai contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik simpati Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, bahkan beliau menarik simpati sebagian orang munafiqin, semacam Abdullah bin Ubai, dan yang serupa dengannya. Semua ini sesuai dengan kemaslahatan dan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan lain dalam masalah pemboikotan.
4. Yang Berkaitan Dengan Waktu Dan Tempat Terjadinya Pelanggaran
Hendaknya dibedakan antara tempat dan waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan kemungkaran, sehingga pelakunya memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran, sehingga kekuatan pelakunya lemah.
Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya, disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:
حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا
“Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja“. [At-Taubah/9 : 118]
Sebagaimana teguran dan pendidikan, berhasil dicapai melalui pemboikotan sahabat Umar bin Khotthab beserta seluruh ummat, terhadap Shobigh bin ‘Asal, sebagaimana telah diketahui bersama.
Adapun apabila kekuatan pada suatu waktu dan tempat berada ditangan orang-orang jahat, dan penjaja kebatilan, maka tidak disyari’atkan pemboikotan ; -kecuali pada momen-momen tertentu- karena pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya, berupa pendidikan, dan teguran, bahkan dimungkinkan orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Oleh karena itu hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi praktek-praktek bid’ah, sebagaimana halnya yang terjadi di kota Bashrah banyak orang-orang yang mengingkari taqdir (Qodariyah), di kota Khurasan banyak ahli nujum, dan di kota Kufah banyak orang-orang Syi’ah, dengan tempat-tempat yang tidak demikian halnya. Dan hendaknya dibedakan antara para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan lainnya. Dan apabila telah diketahui tujuan syari’at, maka hendaknya ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan tersebut” [Majmu’Fatawa 28/206-207]
5. Yang Berkaitan Dengan Masa Pemboikotan.
Hendaknya masa pemboikotan disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan jenis pelanggaran, karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari , satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang butuh waktu lebih lama. Dan apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan, karena kalu tidak, yang terjadi adalah rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang selazimnya, maka tidak akan ada gunanya.
Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat disimpulkan dari kisah pemboikotan NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: “Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot). Hendaknya pemboikotan tersebut merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan), dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode, sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya (pemboikotan) adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan” [Zad Al Ma’ad 3/20]
Ketujuh.
Mengingkari pelaku pelanggaran, dan membantahnya, dalam rangka menunaikan kewajiban menasehati orang tersebut, dan menjaga masyarakat dari kesalahannya, adalah salah satu prinsip baku Ahlis Sunnah, bahkan hal ini termasuk macam jihad paling mulia. Akan tetapi, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, sehingga dengan cara ini, dapat dicapai tujuan syar’at dari pengingkaran dan bantahan tersebut. Diantara ketentuan dan syarat tersebut, ialah:
1. Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini, ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid (tentu lebih pantas untuk didoakan).
2. Hendaknya bantahan terhadap orang tersebut dilakukan oleh seorang ulama’ yang benar-benar telah mendalam ilmunya, sehingga ia menguasai dengan detail, segala sudut pandang dalam permasalahan tersebut, yaitu, yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at, keterangan para ulama’ dalam masalah tersebut, dan sejauh mana tingkat penyelewengan pelanggar tersebut. Dan juga sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam hal ini.
Hendaknya orang yang membantah memiliki kriteria: dapat mengemukakan dalil-dalil yang kuat ketika mengemukakan kebenaran, dan mematahkan syubhat, ungkapan-ungkapan yang detail, agar tidak nampak, atau dipahami dari perkataannya suatu kesimpulan yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Karena bila orang yang membantah tidak memiliki kriteria ini, niscaya yang terjadi adalah kerusakan besar.
3. Hendaknya tatkala membantah, diperhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan baik dari segi agama ataupun sosial yang ada pada orang-orang tersebut. Begitu juga motivasi pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau ungkapannya yang kurang baik, atau salah mengucap, atau terpengaruh oleh seorang guru atau lingkungan masyarakatnya, atau karena memiliki takwil, atau tujuan-tujuan lain yang ada pada pelanggaran terhadap syari’at.
Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak memperdulikan dan tidak memperhatikan terhadap perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus kedalam tindak ekstrim (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan perkataannya tidak atau kurang berguna.
4. Hendaknya tatkala membantah, senantiasa berusaha mewujudkan maslahat (tujuan) syari’at dari tindakan tersebut. Sehingga apabila tindakannya tersebut justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyari’atkan untuk membantah. Karena suatu kerusakan tidak dibenarkan untuk ditolak dengan kerusakan lebih besar.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar. Karena syari’at Islam (senantiasa) mengajarkan agar senantiasa merealisasikan kemaslahatan, dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya, sedapat mungkin. Singkat kata; bila tidak mungkin untuk disatukan antara dua kebaikan, maka syari’at islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan” [Al Masail Al Mardiniyyah 63-64]
5. Hendaknya bantahan, disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya muncul di suatu negri, atau masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebar luaskan ke negri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik melalui penerbitan kitab, atau kaset, atau sarana-sarana lainnya. Karena menyebar luas bantahan, berarti secara tidak langsung menyebar luaskan pula kesalahan tersebut. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, dan tidak merasa puas dengan bantahan itu.
Sehingga menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan dan kesalahan, lebih baik daripada mereka mendengarkannya, dan membantahnya kemudian. Sungguh ulama?terdahulu, senantiasa mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang berisikan bantahan, mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka, yang belum dicapai oleh sebagian orang zaman sekarang.
Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan menebarkan bantahan di negri yang belum dijangkiti kesalahan, sama halnya pembahasan tentang menebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menebarkan bantahan, baik melalui buku atau kaset, ditengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan itu.
Betapa banyak orang awam yang terfitnah, dan terjatuh ke kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat mereka membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.
Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.
Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan mereka.
6. Hukum membantah pelaku kesalahan, ialah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama’ yang melaksanakannya, dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, telah terealisasi tujuan syari’at, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama?telah gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama?dalam permasalahan hukum fardhu kifayah.
Adalah termasuk kesalahan, tatkala ada seorang ulama’ membantah seorang pelaku kesalahan, atau fatwa yang memperingatkan dari kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama’ lainnya, juga para pelajar lainnya agar menyatakan sikap mereka terhadap ulama’ pembantah tersebut dan pelaku kesalahan yang dibantah, atau fatwa itu. Bahkan tidak jarang para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam, untuk menyatakan sikapnya terhadap ulama’ pembantah dan pelaku kesalahan tersebut.
Terlebih dari itu semua, mereka kemudian menjadikan permasalahan ini sebagai asas wala’ dan bara’ (loyalitas dan permusuhan), dan akhirnya yang terjadi saling menghajer (memboikot) hanya karena perkara ini.
Bahkan kadang kala sebagian pelajar memboikot sebagian gurunya (syeikhnya), yang selama bertahun-tahun ia menimba ilmu darinya, hanya dikarenakan permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula, fitnah ini menyusup kedalam keluarga, sehingga engkau dapatkan seseorang memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang tuanya, bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak menjadi terpisah-pisah, hanya karena permasalahan ini.
Dan bila engkau melihat fenomena yang menimpa masyarakat, niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan, dan akhirnya saling memboikot. Semua ini terjadi dikalangan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada As Sunnah (Ahlis Sunnah), yang sebelumnya setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum terjadinya perbedaan ini. Fenomena ini kembalinya kepada kebodohan yang sangat tentang As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), kaidah-kaidah mengingkari (kemungkaran) menurut Ahlis Sunnah, atau kepada hawa nafsu (yang diturutkan), kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan.
Kedelapan.
Ulama’ Ahlis Sunnah yang telah terkenal akan keselamatan akidah dan jasanya dalam memperhuangkan As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), hendaknya senantiasa dijaga kehormatannya, diperhatikan kedudukannya, tidak sepatutnya dicela, atau diklaim sebagai pelaku bid’ah, atau dituduh mengikuti hawa nafsu, atau fanatis, hanya karena memiliki kesalahan dalam berijtihad.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak diragukan lagi, bahwa kesalahan seseorang dalam permasalahan yang detail, akan diampuni, walaupun kesalahan tersebut tergolong dalam permasalahan-permasalahan ilmiyyah (akidah). Kalau kita tidak bersikap demikian, niscaya kebanyakan ulama?akan binasa (tidak dihargai jasanya). Apabila Allah mengampuni orang yang tidak mengetahui bahwa khomer adalah haram, dikarenakan ia hidup disuatu masyarakat bodoh, padahal ia tidak pernah menuntut ilmu, maka seorang ulama?yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sesuai dengan yang ia peroleh dimasa dan tempat ia berada, apabila ia benar-benar bertujuan mengikuti (ajaran) Rasulullah sedapat mungkin, tentua ia lebih berhak untuk diterima Allah kebaikannya dan mendapatkan pahala atas usaha dan jasanya, dan diampunkan kesalahannya. hal ini sebagai realisasi dari firman-Nya: “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau bersalah” [Majmu’ Fatawa 20/165]
Pada kesempatan lain beliau juga berkata: “Ini adalah keyakinan ulama’ salaf (terdahulu), dan para imam ahli fatwa, seperti Abu Hanifah, As Syafi’i, Ats-Tsaury, Dawud bin Ali, dan lainnya. Mereka tidak menganggap berdosa orang yang salah dalam berijtihad, baik dalam permasalahan-permasalahan prinsip (ushul), atau cabang (furu). Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hazem dan lainnya, dan mereka berkata: inilah pendapat yang dikenal dari kalangan para sahabat, pengikut mereka dalam kebaikan (tabi’in), dan para imam agama. mereka tidaklah mengkafirkan, juga tidak menfasikkan, juga tidak menganggap berdosa, seorang ahli ijtihad yang salah (dalam berijtihad), tidak dalam permasalahan amaliyah, juga tidak dalam masalah ilmiyah (akidah). Mereka beralasan, bahwa membedakan antara permasalahan-permasalahan furu’ (cabang) dengan permasalahan-permasalahan ushul (prinsip) hanyalah pendapat ahlil bid’ah, dari kalangan orang-orang penganut ilmu kalam (filsafat), mu’tazilah, jahmiyyah, dan pengikut mereka” [Majmu’ Fatawa 19/207]
Kita menegaskan hal ini, bukan berarti kita tinggal diam, tidak menasehati ulama’ tersebut bila ia melakukan kesalahan, bahkan menasehatinya adalah sebuah kewajiban setiap orang yang mengetahui kesalahannya, dan sikap ini termasuk bakti dan perilaku baik kepadanya. Akan tetapi sudah barang tentu nasehat harus dilakukan dengan cara ramah, lembut, metode yang sesuai dengan kedudukannya dalam keilmuan dan perjuangannya.
Kemudian bila ia bertaubat, meninggalkan kesalahannya, dan meralat kesalahannya, maka ia diterima, dan tidak dibenarkan lagi untuk membicarakannya, tidak juga mencelanya karena kesalahan tersebut, juga tidak dibenarkan kita meragukan kesungguhannya dalam bertaubat.
Namun bila ia tidak bertaubat, dikarenakan masih memiliki alasan tertentu, atau syubhat yang menghalanginya untuk mengetahui kebenaran, maka hendaknya dilihat; apabila kesalahan tersebut hanya terbatas pada dirinya sendiri, maka tanggung jawab kita telah selesai dengan menasehatinya, akan tetapi jika kesalahan tersebut telah menyebar, maka hendaknya masyarakat diperingatkan dari kesalahan itu, dengan tetap menjaga kehormatan ulama?tersebut.
Sepantasnya pada kesempatan ini, kita senantiasa mengingat kewajiban menjaga dua prinsip besar: Pertama: Kewajiban bersikap tulus demi kebenaran, Kedua: Kewajiban menjaga kehormatan ulama? kedua prinsip ini menurut Ahlis Sunnah tidaklah saling bertentangan, dan tidak dibenarkan untuk membesar-besarkan salah satunya, walau harus dengan mengabaikan yang lainnya.
Cinta kepada ulama’ menjaga kedudukan mereka, tidak berarti tinggal diam melihat kesalahan mereka, dan tidak memperingatkannya. Bersikap tulus demi kebenaran, dan mengingatkan kesalahan seorang ulama’ tidak berarti mencela dan memakinya, akan tetapi kedua prinsip ini dapat digabungkan oleh setiap orang yang mendapatkan bimbingan dari Allah.
Barang siapa yang mengetahui metode ulama’ dalam mengingatkan kesalahan sebagian mereka, tanpa diserta celaan, niscaya ia akan mengetahui hakikat permasalahan ini, dan bukti-bukti nyata perkataan ini banyak sekali didapatkan dalam perkataan ulama’.
Kesembilan
Ahlul bid’ah yang menyelisihi Akidah Ahlis Sunnah, dan manhaj (metode) mereka dalam berdalil, mengajar, mendidik, dan berdakwah ke jalan Allah, serta mengikuti hawa nafsu. Mereka juga tidak menjadikan ulama?Ahlis Sunnah sebagai suri tauladan, bahkan sebaliknya, malah mencela, dan mencemooh mereka, bahkan menganggap diri mereka lebih utama dibanding para ulama’ Ahlis Sunnah. Mereka ialah mubtadi’ah (ahli bid’ah) lagi sesat, sepantasnya untuk diperangi dengan cara menjelaskan kepada seluruh masyarakat, keburukan jalan mereka, penyelewengan mereka dari As Sunnah. Juga dengan membantah mereka, dan memperlakukan mereka dalam segala kondisi dengan perlakuan terhadap Ahlul bid’ah.
Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi kita untuk mendakwahi mereka kepada kebenaran, dan bila dianggap akan menyebabkan mereka kembali kepada As Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama’ dengan mereka, yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.
Hendaknya kita selalu waspada, agar tidak mencampur-adukkan antara sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi Ulama’Ahlis Sunnah, -walau mereka memiliki kesalahan- yaitu kewajiban menjaga kedudukan dan kehormatan mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dengan sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi ulama’ Ahlil bid’ah, yang seyogyanya diboikot, dan diperingatkan dari mereka agar dijauhi. Yang demikian ini, dikarenakan kesalahan ulama’ Ahlis Sunnah, merupakan hasil dari usaha mereka dalam mencapai kebenaran, dengan menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil. Sedangkan kesalahan ulama’ Ahlil bid’ah, ialah hasil dari hawa nafsu, penyelewengan, dan tidak menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil, sehingga sangat jauhlah perbedaan antara keduanya.
Permasalahan ini, merupakan titik perbedaan antara Ahlis Sunnah dan Ahlil bid’ah. Dan dengan ini pula seorang yag cerdas dan jeli dapat memahami, sebab kenapa para ulama’ Ahlis Sunnah yang memiliki kesamaan pendapat dengan sebagian Ahlil bid’ah dalam beberapa keyakinan mereka, tidak diklaim sebagai ahlil bid’ah.
Kesepuluh
Saya menutup nasehat ini dengan menyebutkan beberapa anjuran ringan dan faedah-faedah berharga, yang saya rasa bila diamalkan, akan mendatangkan pahala besar dan kedudukan tinggi disisi Allah. Saya menyeru saudara-saudaraku untuk mengamalkannya, dan senantiasa memperhatikannya, terlebih-lebih pada masa ini, masa yang banyak tersebar fitnah, hawa nafsu diumbar, kebodohan merajalela, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dan petunjuk Allah.
1. Wahai penganut As Sunnah, ketahuilah: jika anda benar-benar penganut As Sunnah, sekali-kali tidak akan merugikanmu, tipu daya yang ditujukan kepadamu oleh seluruh penghuni langit dan bumi, dan anda tidak akan dapat terusir dari (jalan) As Sunnah, hanya karena tuduhan mereka kepada anda, sebagai pelaku bid’ah. Sebaliknya, jika anda adalah pelaku kesesatan dan peyelewengan dan saya memohonkan perlindungan kepada Allah untuk anda, agar anda tidak menjadi demikian- niscaya tidak berguna bagimu disisi Allah, pujian seluruh manusia, dan penisbatan mereka bahwa anda adalah penganut As Sunnah, serta sanjungan mereka kepada anda dengan berbagai julukan palsu, -bila realitanya Allah telah mengetahui tentang hakikat diri anda sebagaimana yang anda ketahui sendiri- oleh karena itu hendaknya anda tidak berdusta pada diri sendiri. Hendaknya cukup sebagai peringatan bagimu pada situasi seperti ini, wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu Abbas, Radhiyallahu ‘anhu dan hadits tiga orang yang akan pertama kali dimasukkan kedalam api neraka, semoga Allah melindungi saya dan anda darinya.
2. Ketahuilah bahwasannya ulama’ Ahlis Sunnah yang mendalam (kokoh) ilmunya, dapat mencapai kedudukan tinggi dan menjadi pemimpin (imam) dalam keagamaan selain karena taufiq (bimbingan) Allah kepada mereka- dikarenakan kesabaran dan keyakinan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan dari mereka imam-imam (para pemimpin), yang memberi petunjuk dengan urusan Kami, tatkala mereka bersabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami“.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam urusan agama akan dicapai”
Dan yang dimaksud dari keyakinan ialah ; kekuatan dalam ilmu, yang dilandasi oleh dalil yang benar, pemahaman lurus. Bukan (sebagai keyakinan) apa yang dianut oleh sebagian pelajar, berupa sikap pasrah dalam berilmu dengan taklid kepada seorang ulama’ atau pelajar lain, atau dakwaan bahwa kebenaran akan selalu bersama ulama’ tersebut, dan tidak ada yang memahami As Sunnah dengan baik, kecuali dia.
Dan yang dimaksud dari kesabaran ialah; kegigihan dan keuletan dalam menuntut ilmu, dengan disertai pengamalan, dan mengisi seluruh waktunya, siang dan malam dengan hal tersebut. Berbeda halnya dengan orang-orang yang lemah semangat, dan lebih senang dengan santai, pasrah kepada gejolak hawa nafsu, sehingga ia tidak memiliki semangat untuk belajar, juga tidak untuk beramal.
3. Ketahuilah bahwasannya mengklaim orang lain dengan kafir, mubtadi’ dan fasik, merupakan hak Allah, oleh karenanya jangan sekali-kali anda mengkalaim dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik orang yang tidak layak diklaim demikian, walaupun ia telah mengklaim anda dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan untuk membalas kezaliman pelaku kesalahan dengan kezaliman. Akan tetapi metode membalas kezaliman dengan kezaliman, merupakan perangai Ahlil bid’ah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang Khowarij selalu mengkafirkan Ahlis Sunnah wal Jama’ah, demikian juga Mu’tazilah, mereka mengkafirkan setiap orang yang bertentangan dengannya, demikian pula halnya Rafidhoh (Syi’ah). Kalaupun mereka tidak mengkafirkan, tapi mereka mengklaim dengan fasik’. Sedangkan Ahlis Sunnah, senantiasa mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka, kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan mereka tidaklah mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam kebenaran itu. Akan tetapi mereka adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran, dan paling sayang terhadap manusia” [Minhajus Sunnah 5/158]
4. Janganlah sekali-kali anda memboikot saudaramu yang telah memboikotmu, bila pemboikotan terhadapnya tidak dibenarkan secara syari’at. Akan tetapi hendaknya anda selalu memulai mengucapkan salam kepadanya, berusaha menarik simpatinya. Berusahalah untuk menghapuskan syubhat yang menyebabkannya memboikot anda. Bila ia tetap berpaling darimu, maka janganlah anda berkeyakinan dalam hati anda bahwa anda dibenarkan untuk memboikotnya. Dan janganlah anda menyibukkan diri anda dengan terus berusaha mendekatinya, karena anda telah terbebas dari dosa memutus hubungan, sedangkan dia akan bertanggung jawab atas tindakannya itu.
5. Celaan orang lain terhadap anda, bisa saja dengan cara menjelek-jelekkan pribadi anda, dan bisa dengan cara menisbatkan -dengan dusta- kepada anda suatu perkataan yang bertentangan dengan keyakinan Ahlis Sunnah. Maka apabila yang mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan pribadi anda, misalnya dengan mengatakan: Ia orang sesat, bodoh, tidak paham, maka janganlah sekali-kali anda membela diri. Karena bila anda membela diri, niscaya anda akan terjerumus kedalam tazkiatun nafsi (memuji diri sendiri), dan sikap seperti ini merupakan kebinasaan yang nyata.
Ada seseorang yang menjelek-jelekkan seorang Imam dengan suatu ucapan, maka Imam itu hanya menjawab: “Tuduhan) Anda tidak terlalu jauh”. Dahulu Ahlil bid’ah senantiasa mensifati pribadi ulama’ Ahlis Sunnah dengan berbagai kedustaan, akan tetapi mereka tidak pernah memperdulikannya, Yang mereka lakukan hanyalah membantah kesalahan mereka dalam urusan agama, dan menasehati masyarakat umum. Oleh karena itu hendaknya kita menjadikan mereka suri tauladan dalam hal ini.
Adapun bila ia menisbatkan suatu perkataan sesat, misalnya dengan mengatakan: Si fulan berkata demikian, demikian, dan menisbatkan kepadamu suatu perkataan yang tidak pernah anda ucapkan, maka anda cukup membantah penisbatan tersebut, agar pada kemudian hari tidak ada yang menisbatkan perkataan tersebut kepada anda. Dan para ulama’ senantiasa menjelaskan kepada masyarakat tentang perkataan-perkataan yang tidak pernah mereka ucapkan, yang dinisbatkan kepada mereka. Dan sikap ini sama sekali bukan termasuk kedalam sikap memuji diri sendiri, bahkan merupakan nasehat kepada masyarakat.
Sehingga sangat jelas perbedaan antara contoh ini dengan contoh sebelumnya. Oleh karena itu hendaknya anda berpegang teguh dengan ajaran ulama’ salaf dalam hal semacam ini. Dan janganlah anda menyerupai sebagian orang bodoh, yang bila dituduh dengan suatu tuduhan, ia langsung menebarkan keseluruh penjuru dunia, berbagai pujian, dan sanjungan terhadap dirinya, Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. dan yang terakhir:
6. Ketahuilah bahwa setiap manusia akan menjadi semakin besar (kedudukannya) dalam bidang amalannya masing-masing, sehingga jika anda berpegang teguh dengan As Sunnah, niscaya kedudukan anda semakin hari, akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) As Sunnah, Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” [As Sajdah/32 : 24].
Dan sebaliknya, jika anda mengamalkan bid’ah, niscaya kedudukan anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ مَنْ كَانَ فِي الضَّلَالَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمَٰنُ مَدًّا
“Katakanlah: “Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Rabbnya yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya” [Maryam/19 :75].
Dan setelah Allah mensifati Fir’aun beserta kaumnya dengan kesombongan, Dia berfirman:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يُنْصَرُونَ
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka” [Al Qhashash/28 : 41].
Maka silahkan anda memilih untuk diri anda, suatu amalan yang esok anda senang bila menjadi pemimpin dalamnya.
Inilah dan hanya Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan sholawat, salam dan keberkahan atas hamba dan rasul-Nya Muhammad.
Ditulis oleh:
Ibrahim bin Amir Ar Ruhaily
Selesai ditulis di kota Madinah
Pada tanggal 8/10/1424 H.
[Diterjemahkan Oleh ASPRI RAHMAT AZAI Islamic University of Madinah Po. Box : 10234 Phone : 966-4-8390448 Mobile: 966-59467833]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/260-nasehat-untuk-salafiyyin.html